6 Fakta tentang Hak Perempuan di Bangladesh

Ibukota Bangladesh

6 Fakta tentang Hak Perempuan di Bangladesh – Sejak mencapai kemerdekaan pada tahun 1971 , Bangladesh telah mengangkat 15 juta warga keluar dari kemiskinan dan membuat langkah besar dalam mengatasi kerawanan pangan. Namun, sementara pemerintahnya tanpa lelah bekerja untuk mengembangkan ekonomi, ia juga berjuang untuk hak-hak perempuan di Bangladesh.

6 Fakta tentang Hak Perempuan di Bangladesh

dhakacity – Terlepas dari kerangka sosial patriarki, perempuan Bengali telah memegang hak untuk memilih sejak 1947, dan negara itu memilih Perdana Menteri perempuan pertamanya pada tahun 1991.

Perempuan berjuang untuk negara mereka dalam Perang Pembebasan Bangladesh , dan konstitusi yang kemudian diadopsi negara itu menjanjikan kesempatan yang sama bagi wanita di segala bidang.

Baca Juga : Sejarah dan Budaya Bangladesh

Enam fakta berikut tentang hak-hak perempuan di Bangladesh menjelaskan bagaimana negara itu berusaha untuk menepati janji itu, dan tantangan apa yang masih ada.

1. Pemerintah telah memberlakukan berbagai kebijakan selama dekade terakhir yang berfokus pada hak-hak perempuan di Bangladesh.

Kementerian Wanita dan Anak telah meningkatkan tunjangan bagi para janda , meringankan beban ibu menyusui di perkotaan dan memberikan pelatihan kerja di bidang-bidang seperti pertanian dan elektronik. Kebijakan Pembangunan Perempuan Nasional tahun 2011 bertujuan untuk menetapkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga mencakup tujuan khusus seperti pendampingan bagi pengusaha perempuan.

Untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan pembangunan, pemerintah membentuk Dewan Pengembangan Perempuan dan Anak Nasional beranggotakan 50 orang yang diketuai oleh Perdana Menteri Sheikh Hasina. Hasina juga secara vokal mendukung pemberdayaan perempuan di forum-forum global seperti PBB .

2. Laki-laki masih mendominasi sistem politik negara.

Dengan Hasina memimpin negara itu sejak 2009 dan partai oposisi utama juga dipimpin oleh seorang perempuan, Bangladesh mungkin tampak menjadi model pemberdayaan perempuan dalam politik. Namun, dari 350 kursi di parlemen Bangladesh, hanya 22 yang saat ini dimiliki oleh legislator perempuan yang dipilih secara langsung sementara 50 kursi disediakan untuk perempuan yang tidak dipilih secara langsung.

Politisi dan aktivis perempuan telah menggambarkan budaya eksklusi di dua partai politik utama, diperkuat oleh politisi laki-laki yang memandang rekan perempuan mereka sebagai inferior. Namun, proporsi perempuan di parlemen terus meningkat selama dekade terakhir dan perempuan memegang kursi di 12.000 kantor politik lokal .

3. Kematian ibu telah turun 60% sejak tahun 2000.

Penurunan ini merupakan hasil dari investasi yang efektif dalam perawatan prenatal. Pemerintah dan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), badan kesehatan seksual dan reproduksi PBB, telah memberikan dukungan penting dengan mengoordinasikan program pelatihan bidan.

Bidan terlatih mengurangi faktor risiko utama kematian ibu, yaitu kurangnya akses kesehatan bagi ibu hamil. Lebih dari setengah wanita Bengali memilih untuk melahirkan di rumah, tetapi proporsi kelahiran yang melibatkan tenaga kesehatan terlatih telah meningkat dan sekarang mencapai lebih dari setengahnya.

4. Kekerasan terhadap perempuan dan pernikahan anak masih menjadi masalah utama.

Dua dari tiga wanita menikah di Bangladesh pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga di beberapa titik dalam hidup mereka. Hukum agama mendikte adat-istiadat seperti pernikahan dan memperkuat diskriminasi terhadap perempuan.

Hampir 60% perempuanmenikah sebelum ulang tahunnya yang ke-18, dan keluarga suaminya dapat menelantarkan mereka jika mereka tidak dapat melahirkan anak. Akar rumput dan LSM internasional telah berusaha untuk mengubah status quo ini; misalnya, Girls Not Brides Bangladesh adalah kemitraan dari 25 organisasi yang melobi pemerintah dan mempromosikan advokasi.

Pemerintah telah menjawabnya dengan mengesahkan UU Pencegahan dan Perlindungan KDRT tahun 2010 dan UU Pembatasan Perkawinan Anak tahun 2017, namun hasil dari upaya tersebut belum juga terwujud.

5. Organisasi masyarakat sipil telah memainkan peran kunci dalam meningkatkan hak-hak perempuan di Bangladesh.

Contoh organisasi nirlaba yang mendukung wanita Bengali adalah Masyarakat Koperasi Wanita Kurang Mampu Murapa Selatan. Organisasi ini menyediakan perawatan medis untuk wanita di distrik Cox’s Bazar. Ketua kelompok itu, Kulsuma Begum, melarikan diri dari suaminya yang kejam pada usia 16 tahun dan segera berangkat untuk membantu wanita hamil di zona bencana. Selain organisasi domestik seperti Begum’s, badan amal internasional seperti Save the Children telah membuat keuntungan besar dalam kesehatan bayi dan pendidikan anak usia dini.

6. Pandemi COVID-19 telah memperburuk ketidakadilan yang ada.

Evaluasi antar lembaga oleh UN Women mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat mengikis hak-hak perempuan di Bangladesh karena pandemi, termasuk kurangnya akses perawatan kesehatan, beban kerja perawatan yang tidak setara, dan kurangnya kekuatan pengambilan keputusan dalam respons pandemi.

Para ahli juga mendokumentasikan peningkatan kekerasan berbasis gender selama penutupan awal, memicu lonjakan panggilan ke hotline trauma nasional. Untungnya, organisasi lokal di lapangan telah mengorganisir kegiatan cash-for-work untuk perempuan, seperti pembuatan topeng.

Di bulan-bulan mendatang, pandemi COVID-19 akan terus menghadirkan tantangan bagi Bangladesh, khususnya para wanita di negara itu. Namun, perempuan Bengali telah lama menanggung beban perjuangan negara mereka sambil terus mendorong perubahan tanpa henti. Mudah-mudahan, ketahanan mereka pada akhirnya akan bersinar.

6 Fakta tentang Hak Perempuan di Bangladesh

Related Posts

slot dana 5000